Ghaib Kerinduan Seruling Bambu


Pertanyaan awal dalam kajian-kajian tasawuf biasanya berkenaan dengan posisi manusia dengan Allah SWT. Mengapa ia diciptakan-Nya? Apa tugas dan kewajibannya? Bagaimana ia harus menjalani hidupnya? Dan apa yang kelak menantinya? Manusia diciptakan dari Iradah dan Qudrah Tuhan. Pembahasan tentang penciptaan manusia sangat beragam. Mulai dari berpegang pada ayat yang mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah, hingga pendapat yang menetapkan bahwa Tuhan memerlukan kehadiran makhluk-Nya. Menarik memang, tapi kita akan membatasi pembahasan teoritis itu dengan menyimpulkannya dari syair Jalalluddin Rumi.  Menurut Rumi, kita semua seumpama seruling yang diambil dari rumpun bambu. Kita tercerabut dari asal kita. Kita dijauhkan dari awal kita. Seperti seruling, dendang yang dilantunkan penuh dengan lirih. Seperti seruling, yang ia kumandangkan adalah syair lagu kerinduan.


Mestinya kita merindukan asal kita. Harusnya kita bergegas kembali ke haribaan kecintaan kita. Seperti orang yang bepergian, kita rindu kampung halaman. Bukankah kebahagiaan pertemuan, hanya dapat dirasakan setelah lamanya perpisahan? Jalan menuju al-Lathif hanya dapat dirasakan setelah katsif. Nikmatnya terang terasa setelah kegelapan. Puasnya berbuka terlihat setelah siang penuh berpuasa.

Karena itulah kita semua diciptakan. Manusia juga adalah manifestasi iradah dan qudrah Tuhan. Manusia adalah cerminan keagungan Tuhan. Makhluk pada hakikatnya adalah perwujudan sifat-sifat Tuhan. Semua yang melekat dalam jiwa dan raga kita adalah bukti dan bentuk kasih sayang Tuhan. Dengan merenungkan makna ini kita sampai pada keyakinan, bahwa kita tidak memiliki arti apa-apa, bahkan wujud pun tak lagi kita punya.
DidalamsuratAl-Baqarah, ayat 3-6 dikisahkan tentang ciri orang-orang yang bertakwa. Syarat yang pertama dari takwa adalah mengimani yang gha’ib. Pendapat umum mengatakan bahwa yang gha’ib itu adalah Allah, Huwa al-gha’ib. Bila definisi gha’ib kita terjemahkan sebagai “sesuatu yang tak mampu kita lihat”, maka jin tidaklah gha’ib bagi sebagian orang; surga dan neraka dalam banyak hadis diperlihatkan pada hamba pilihan; para sahabat pun sering melihat malaikat pada peristiwa peperangan atau ketika mereka menjumpai Nabi.

Lalu apa lagi yang gha’ib? Adakah Tuhan Gha’ib? Bila pengertian gha’ib itu “tak mampu kita lihat” maka apakah “dan kemana pun kamu palingkan wajah kamu fa tsamma wajhullah, disana ada wajah Allah” termasuk dalam kategori yang bukan gha’ib?
Imam al-Fakhr al-Razi punya pendapat yang lain. Menurutnya, ketika mengomentari ayat itu, yang dimaksud dengan yang gha’ib adalah Rasulullah SAW.

Al-Fakhr al-Razi lalu mengutip kisah ketika Nabi mengumpulkan para sahabatnya dan bertanya, “Menurut kalian, siapa yang imannya paling menakjubkan? Man a’jabakum imanan? Para sahabat menjawab: Para malaikat Ya Rasulullah. Nabi berkata : Bagaimana mungkin para malaikat tak beriman, padahal mereka berada di samping ‘Arasy Tuhan? Para sahabat berkata: kalau begitu, para nabi Ya Rasulullah. Nabi menjawab: Bagaimana mungkin para nabi tak beriman, padahal kepada mereka turun wahyu Tuhan. Kata para sahabat : kalau begitu kami ya Rasulullah, kami sahabatmu. Nabi bersabda: Bagaimana mungkin kalian tak beriman, padahal aku berada di tengah-tengah kalian. Telah kalian saksikan apa yang kalian saksikan. Menurut hadis ini, mungkin sebagian sahabat beriman karena menyaksikan mukjizat dan peristiwa-peristiwa agung yang menyertai kenabian Rasulullah SAW.

Al-Fakhr al-Razi dalam tafsir Al-Kabir, meneruskannya dengan mengabarkan sabda Nabi, “Yang paling menakjubkan imannya adalah mereka yang datang setelah kalian. Mereka yang beriman kepadaku padahal aku tidak berada di tengah mereka. Mereka yang mengimaniku tanpa pernah berjumpa denganku: yang mengikuti ajaranku seraya merindukanku. Duhai betapa aku merindukan mereka (diulang sampai tiga kali). Merekalah saudara-saudaraku.
Para sahabat berkata. “Bukankah kami ini saudaramu juga Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Antum Ashhabi.” Kalian adalah sahabat-sahabatku. Merekalah saudara-saudaraku.

Peristiwa ini dipandang al-Fakhr al-Razi sebagai gha’ibnya Rasulullah SAW di tengah-tengah kita. Tetapi sebagian sufi mem “bantah” nya dengan mengatakan bahwa Nabi tidak gha’ib di tengah – tengah kita. Karena itulah, dalam shalat, kita menyampaikan salam kepada Rasulullah SAW dengan seruan orang kedua, Assalamu’alayka ayyuhan Nabiyyu, salam bagimu, duhai Nabi.
Menurut sebagian sufi, yang dimaksudkan dengan mengimani yang gha’ib adalah mengimani “kegha’iban” diri kita sendiri. Dalam arti, bahwa kita ini semua fakir, miskin, tak memiliki apa-apa, tak punya arti apa-apa. Kita semua tiada, hanya Tuhanlah yang Ada. Kita semua tak bermakna, hanya Tuhanlah Makna segala. Kita semua hanyalah tetes semu butir embun, dan Tuhanlah Sang Mentarinya. Dari kegelapan kita berasal, menjalani hidup yang singkat, entah setelah itu, apakah tetes embun itu kembali diserap Matahari, atau ia jatuh tersungkur ke kegelapan bumi.

Karena itu, menurut para sufi pada awal perjalanan, yang dirasakan manusia adalah kefakiran. Al-Qur’an mengatakan: Ayyuhan nas, antum al-fuqara ilallah. Wallahu huwa al-ghaniyyul hamid. Wahai manusia, kalian semuanya faqir terhadap Allah, dan Allah-lah yang Maha Mencukupi dan Maha Terpuji (QS. Al-Fathir: 15).

Para sufi juga sering menggelari diri mereka dengan sebutan fakir. Demi mematrikan dalam diri ketidak berdayaan mereka, kelemahan mereka, dan ketidak berartian mereka. Tasawuf dan agama kemudian diturunkan untuk mengangkat derajat wujud kita. Dari wujud yang tak bermakna, kita menggantungkan diri kita pada tali Allah (wa’tashimu bi hablillah).
Itulah ciri orang bertakwa yang pertama menurut para sufi: beriman akan kegha’iban dan ketidakberartian mereka. Wujud yang gha’ib itu kemudian me “wujud” dengan melakukan ciri dan sifat orang yang bertakwa berikutnya: mendirikan shalat (perumpamaan ibadah ritual) menginfakkan sebagian harta (perumpamaan perkhidmatan) dan beriman pada kitab-kitab sebelum Al-Qur’an (perumpamaan keharusan pencarian ilmu). Bagi mereka yang meneladani tiga sifat ini, mereka berada di jalan Tuhan dan merekalah orang-orang yang memperoleh keberuntungan.

Wujud manusia sering disebut sebagai wujud yang relatif. Keberadaannya bergantung pada lingkungan yang menyertainya. Mulla Shadra menyebutkan tasykik al-wujud, gradasi wujud. Suhrawardi mengibaratkannya seumpama lilin di kegelapan. Ia terang manakala lingkungan di sekitarnya gelap. Tetapi begitu siang tiba, cahayanya kalah oleh sinar mentari. Ia akan melebur, menyatu, dan terbakar dalam cahaya matahari. Menurut Suhrawardi, dan para sufi pada umumnya, perjalanan kita di sunia ini adalah seumpama lilin menuju matahari, atau tetes embun yang bergerak menuju samudra. Ketika kelak sampai pada tujuannya, disitulah mereka temukan kebahagiaan yang sejati.

Halangan terbesar pada dalam perjalanan menuju Tuhan di tahap ini adalah keangkuhan dan kesombongan, ketika kita masih terperangkap dalam keakuan kita. Kiat praktis dalam tasawuf untuk mengikis rintangan seperti ini adalah dengan berusaha untuk menghindarkan kata “aku” dalam berdoa. Karena itulah, al-Fatihah mengajarkan kita untuk berdoa dengan menyertakan seluruh kaum Mukminin, iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Sebuah kisah sufi mengakhiri pembahasan tentang ketidakberartian wujud manusia ini.


Alkisah, seorang sufi sampai dalam perjalanan ruhaniahnya di depan pintu surga Allah SWT. Dengan penuh kerinduan, ia mengetuk gerbang yang megah itu dengan keras. Dari dalam terdengar suara, “Man Hunaka? Siapakah gerangan di sana?” ia menjawab, “Ana.” Pintu surga tak bergeming. Sufi itu malah ditolak dengan keras hingga jatuh ke alam yang lebih rendah.

Bertahun-tahun lamanya, ia kembali meniti jalan kesucian. Hingga sampailah ia kembali di depan pintu yang sama. Dengan kerinduan yang lebih besar, ia mengetuk gerbang itu lebih keras. Dari dalam terdengar suara, “Man Hunaka? Siapakah gerangan di sana?” Ia menjawab, “Ana.” Lagi-lagi ia dihentak dengan keras, dan terjerembab kembali ke alam yang lebih rendah.
Ia merenung dan merenung. Hingga ia temukan jawabannya. Setelah kembali meniti jalan kesucian, sampailah ia di depan pintu yang sama. Kini kerinduannya semakin menggelora, dan ketika suara dari dalam itu bertanya, “Siapakah gerangan di sana? Dengan yakin ia menjawab, “Anta.” Maka pintu surga pun terbuka.

Maha Suci Tuhan dengan segala Firman-Nya

Sumber: http://kampoengsufi.wordpress.com/2010/03/21/ghaib-kerinduan-seruling-bambu/

Komentar